Menurut
al-Dzahabi, istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun
150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia
Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi.
Tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada
awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal
Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (maẖabbah) kepada
Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena
faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf
baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi
suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Beberapa tokoh lainnya
yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-Muhasibi (w. 243 H)
dan Dzunnun al-Misri (w. 245 H).
Tasawuf
kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4 H
dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-Ghazali menegaskan
tasawuf atau maẖabbatullah (cinta
kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping
filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik
pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan
berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya dipandang oleh
para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syari’at.
Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak
falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn
al-’Arabi dan Ibn al-Faridh pada abad ke-7 H. Realitas inilah yang kemudian
menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf
‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis atau yang
disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari
diri dengan al-Qur’an dan al-Hadits secara ketat dengan penekanan pada aspek
amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf teoritis atau
juga disebut tasawuf falsafi cenderung menekankan pada aspek pemikiran
metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan.
Di antara
tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi
(w. 243H/858 M), al-Junaidy (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib
al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyairi (465/1073), dan al-Ghazali
(505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf
falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani
(525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn
‘Arabi.
Kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi
terhadap kemewahan hidup dan ketidak pastian nilai. Tetapi secara umum tasawuf
pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan
tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan
kemewahan; (2) masuknya genostisisme Helenisme yang mendukung corak
kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme
yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-dunia dan sarat dengan kehidupan
asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral;
(2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3) bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan
kedekatan antara Tuhan dan makhluk. Dekat dalam hal ini dapat berarti:
merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun
penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan.
Dari segi
sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1) sufisme sebagai
semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme
yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-bentuk kelembagaan
termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata
berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada
kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup
sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena
kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar
al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari
perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.
Disintegrasi
sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal yang mampu memberi
mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan
yang damai sesame muslim di antara mereka. Secara garis besar perkembangan
tarekat dapat dibaca melalui tiga tahapan berikut: (1) khanaqah, yakni
terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk
melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan yang bercorak
aristokratis ini berkembang sekitar abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni
perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran,
peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan; (3) taifa,
yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang melestarikan
ajaran syaikh tertentu.
Tharikat
adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui ikatan hirarkis
tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu
untuk menemukan kejernihan jiwa dan hati. Varian tarekat dapat disejajarkan
sebagai mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian
mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih.
di ambil dari buku apa gan??
BalasHapus